يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208)."

6.2.09

Soal Jawab KHITBAH

  1. Apakah keputusan menerima khitbah spenuhnya dipegang olh akhwat? bgman urutannya, mengajukan kpd walinya trlebh dhulu atau lgsng kpd akhwtnya?
    Jawaban Pertama,
    Untuk menjawab pertanyaan ukhtii ini, penulis kutip juga penjelasan KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi
  2. MENGKHITBAH LANGSUNG TANPA MELALUI WALI
    Tanya :
    Kalau seorang laki-laki meminta seorang wanita untuk menikah dengannya tanpa melalui wali si wanita itu, apakah sudah termasuk khitbah ? Apa hukumnya ?
    Jawab : Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui lebih dahulu pengertian khitbah (melamar / meminang). Dalam kitab Al-Khitbah Ahkam wa Adab karya Syaikh Nada Abu Ahmad hal. 1, pada bab Definisi Khitbah (Ta'rif Khitbah), diterangkan pengertian syar'i (al-ma'na asy-syar'i) dari khitbah sebagai berikut.
    "[Khitbah adalah] permintaan menikah dari pihak laki-laki yang mengkhitbah kepada perempuan yang akan dikhitbah atau kepada wali perempuan itu."
    (Mughni Al-Muhtaj, 3/135)
    Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa seorang laki-laki boleh hukumnya mengkhitbah perempuan secara langsung kepadanya tanpa melalui walinya. Boleh juga laki-laki tersebut mengkhitbah perempuan tersebut melalui wali perempuan itu. Dua-duanya dibolehkan secara syar'i dan dua-duanya termasuk dalam pengertian khitbah. Keduanya dibolehkan karena terdapat dalil-dalil As-Sunnah yang menunjukkan kebolehannya. Dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan secara langsung tanpa melalui walinya, adalah hadits riwayat Ummu Salamah RA, bahwa dia berkata :
    "Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Hathib bin Abi Baltha'ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam..." (Arab : lamma maata Abu Salamata arsala ilayya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallama Haathiba 'bna Abi Balta'ah yakhthubuniy lahu shallallahu 'alaihi wa sallama). (HR Muslim).
    Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mengkhitbah Ummu Salamah RA, bukan mengkhitbah melalui wali Ummu Salamah RA. Sedang dalil bolehnya laki-laki mengkhitbah perempuan melalui walinya, adalah hadits riwayat Urwah bin Az-Zubair RA, dia berkata :
    "Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhitbah 'Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…" (Arab : anna an-nabiyya shallallahu 'alaihi wa sallama khathaba 'A'isyata radhiyallahu 'anhaa ilaa Abi Bakrin radhiyallahu 'anhu) (HR Bukhari).
    Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhitbah 'Aisyah RA melalui walinya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. (Lihat Syaikh Nada Abu Ahmad, Al-Khitbah Ahkam wa Adab, hal. 3).
    Perlu kami tambahkan, dalam mengkhitbah dibolehkan seorang laki-laki mewakilkan kepada orang lain untuk mengkhitbah, sebagaimana dibolehkan pula laki-laki itu sendiri yang mengkhitbah (tanpa mewakilkan). (Lihat Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, Bogor : Al-Azhar Pess, 2007, hal. 177). Kebolehan ini didasarkan pada keumuman dalil-dalil wakalah (akad perwakilan), di samping diperkuat pula dengan dalil-dalil As-Sunnah yang telah kami kemukakan di atas. Pada saat mengkhitbah Ummu Salamah RA, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan (wakil) beliau yaitu Hathib bin Abi Baltha'ah RA. Adapun pada saat mengkhitbah 'Aisyah RA, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewakilkan melainkan langsung mengkhitbah sendiri kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq RA sebagai wali 'Aisyah RA. Dengan demikian, jelaslah bahwa syara' membolehkan khitbah disampaikan langsung kepada pihak perempuan atau disampaikan kepada wali perempuan itu. Wallahu a'lam
    Jawaban Kedua,
    Penulis kira kita sudah memahami bahwa Islam menetapkan hak menerima atau menolak khitbah ada pada akhwat yang dikhitbah itu sendiri. Bukan hak walinya atau orang-orang yang akan menikahkannya tanpa seizin atau kesediaan akhwat tersebut (misalnya Amir Jama’ah LDI.. hmm…). Begitu pula keputusan memilih ikhwan yang akan diterima sebagai calon suami, ada di tangan akhwat yang bersangkutan. Akhwat pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menerima khitbah atau menikah dengan ikhwan yang diinginkannya, terkecuali jika pernikahan itu ialah pernikahan yang haram secara syar’i (misalnya nikah mut’ah, dll.). Hanya saja, di sisi lain Islam pun memang memperbolehkan seorang wali berinisiatif mencarikan/memilihkan calon suami bagi akhwat yang berada di bawah perwaliannya, kemudian memberikan pertimbangan-pertimbangan atau saran dan masukan kepada akhwat tsb. yang nb ditetapkan syari’at sebagai pemegang keputusan. Ketentuan kebolehan bagi wali tersebut merupakan satu ketentuan yang tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang lainnya, ada rambu-rambunya, diantaranya ; wali tidak boleh memaksakan pilihannya kepada akhwat yang berada di bawah perwaliannya, terkecuali jika memang akhwat yang bersangkutan ridha’ tapi di sisi lain –sejauh yang Penulis pahami-, wali pun tidak boleh menjodohkan dan menikahkan akhwat yang dibawah perwaliannya dengan ikhwan yang fasik, ahli maksiat/durhaka, mubtadi’ (ahli bid’ah), dll. Ketentuan yang lain, diantaranya wali berhak bahkan wajib melarang, mencegah akhwat yang di bawah perwaliannya menikah dalam konteks menikah yang terlarang secara syar’i, misalnya nikah mut’ah, atau misalnya jika sang akhwat adalah mahramaat muabbad[an]/mahram dengan ikhwan yang dipilihnya itu, dll.
    Seorang gadis, tidak boleh dinikahkan kecuali telah dimintai izinnya (tusta’dzanu) atau dimintai perintahnya (tusta’maru) dan ia memberikan izin itu atau memerintahkannya. Maka jika ada seorang ikhwan yang mengkhitbah seorang akhwat kepada walinya, maka wali tidak boleh serta merta menerima atau menolak khitbah ikhwan tersebut tanpa seizin atau tanpa perintah akhwat yang di bawah perwaliannya tersebut. Maka dalam hal ini, wali harus memberitahukan maksud dan mendeskripsikan ikhwan yang mencoba mengkhitbahnya itu. Wali dan keluarga tidak berhak mendahului memberikan keputusan, tapi wali dan keluarga boleh memberikan pertimbangan-pertimbangan. Ingat : keputusan tetap berada di tangan sang akhwat. [Pembahasan kasuistisnya bisa sangat banyak dan pembahasannya panjang lebar, tapi sungguh batasannya jelas, jadi jika masih ada pertanyaan seputar hal ini dan sifatnya kasuistis, bisa kita diskusikan lanjut, min fadhlik…].
    SIMPULAN JAWABAN :
    1. Keputusan menerima khitbah atau dinikahi sepenuhnya ada di tangan akhwat yang bersangkutan dengan catatan jika tidak dalam konteks pernikahan yang haram secara syar’i (misalnya nikah mut’ah (kawin kontrak) atau jika sang akhwat ialah mahram bagi ikhwannya),
    2. Khitbah bisa diajukan oleh ikhwan kepada akhwatnya langsung atau kepada walinya, adapun keputusan khitbah tetap ada di tangan atau atas seizin dan perintah sang akhwat.

3 komentar:

  1. Ayo Kita Khitbah...!

    BalasHapus
  2. Iraha atuh nt nga khitbah, inget umur ente teh geus kolot...
    'dedi thea'

    BalasHapus
  3. Al-hamdulillah terima kasih artikel nya..!

    BalasHapus

isilah komentar anda ...