يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208)."

22.6.09

Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya

Definisi Aurat
Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
Batasan Aurat bagi Wanita
Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]

Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]

Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].

Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.

Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.

Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]

Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]

Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]

Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda; .

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].

Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]

Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.

Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.[Arief Adiningrat]


[1] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86
[2]Abu al-Husain, al-Hidaayah Syarh al-Bidaayah, juz 1/43
[3] al-Kaasaaniy, Badaai’ al-Shanaai’, juz 5/123
[4] Imam al-Nasafiy, tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143. Dalam kitab Ruuh al-Ma’aaniy, juz 18/140, dituturkan, “Diungkapkan dengan perkataan “al-ziinah” (perhiasan), bukan “anggota tubuh tempat menaruh perhiasan”, ditujukan untuk memberikan kesan penyangatan dalam hal perintah untuk menutup aurat.. Sedangkan yang boleh ditampakkan adalah muka dan kedua telapak tangan.. Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285, menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, “illa ma dzahara minhaa” diartikan muka dan kedua telapak tangan.
[5] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257
[6] Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336
[7] al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran, juz 1/311
[8] Ibnu al-’Arabiy, Ahkaam al-Quraan, jilid III/1369
[9] al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 10/106
[10] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182
[11] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23
[12] Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/32; Imam Nasafiy, Tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143; Ruuh al-Ma’aaniy, juz 18/142
[13] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 1/272
[14] Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz
[15] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 14/243
[16] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/519
[17] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/304
[18] Imam al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/560

12.6.09

Ibu Para Pahlawan Islam

KABSYAH BINTU RAFI’
Sabda Sallallahu alaihi wa Sallam:
” Wahai Ummu Saad, terimalah khabar gembira dan sampaikanlah khabar gembira kepada
keluarga mereka, bahawa orang-orang yang terbunuh di antara mereka saling berteman di
dalam syurga, semuanya dan mereka diberi syafaat untuk keluarganya”.

IBU PARA PAHLAWAN

Sahabiyyah ini adalah antara wanita mukminah yang menyajikan jalan-jalan tauladan dan
termasuk salah seorang wanita yang memberikan kesaksian kebenaran bagi Rasulullah Sallalla
hu Alaihi Wassalam.
Baginda Rasul turut menjanjikan imbalan kebaikan dan mendoakan barakah baginya. Ketika
iklim iman menggantikan kegelapan jahiliyyah dan mentari hidayah mulai terpancar di tanah
Madinah, sahabiyyah ini hidup dan tampil sebagai penolong bagi Islam, mencurahkan sekalian
yang dimiliki dan menjadi ibu kepada dua orang anaknya yang gugur sebagai syuhada’; dua
pahlawan Islam yang segar di dalam medan sejarah.
Inilah dia, Kabsyah bintu Rafi’ bin Muawiyah bin Ubaid bin Al-Abjar Al-Ansyariyah
Al-Khudriyah . (Thabaqat Ibn Saad, 8/37; Al-Isti’ab, 4/383; Usdul Ghabah [7230];
Al-Istibshar,hal. 129)
Beliaulah ibu yang Arasy Ar-Rahman pun bergoncang kerana kematian anak-anaknya.
Beliaulah ibu yang memutuskan perkara dengan hukum Allah dari atas langit ketujuh. Anak
beliau ialah penjaga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam ketika Perang Badar, yang juga
pemegang panji dari golongan Ansar, serta salah seorang ahli majlis syura Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wassalam ketika itu. Anak beliau adalah As-siddiq kedua setelah Abu Bakar
Radiallahu Anhu. Anak beliau jugalah wakil Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam
di saat Perang Buwath. Dari rumah pasangan Kabsyah bintu Rafi’ dan Muadz bin An-Nu’man
inilah, lahirnya sosok-sosok peribadi Saad bin Muadz, Amru bin Muadz, Iyas, Aqrab dan Ummu
Hizam. Maka, setelah mendengarkan nama-nama ini, masihkah kita menginginkan tambahan
karamah untuk memuliakan beliau?.

PENGISLAMAN

Madinah menerima tetamu, seorang pemuda dari Mekah, duta kepada Rasulullah Sallallahu
Alaihi Wassalam;
Mushab bin Umair. Beliau ditugaskan untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah
dan menjelaskan hukum-hukum berkaitan permasalahan agama. Risalah Islam akhirnya
tersebar ke perkampungan Bani Al-Asyal. Dua orang pemimpin Aus, Usaid bin Hudhair dan
Saad bin Muadz lantas melafazkan keislaman mereka. Peristiwa pengislaman keduanya
dirakamkan di dalam beberapa kitab sirah. Setelah Saad bin Muadz memeluk Islam, beliau
lantas berdiri di hadapan kaumnya, Bani Abdul-Asyhal, seraya berkata kepada mereka :

“Wahai Bani Abdul Asyhal, bagaimanakah pendapat kalian tentang kepimpinanku di
tengah-tengah kalian?”

Soalan yang dilontarkan Saad dijawab oleh pengikut-pengikut beliau: “Engkau pemimpin dan
orang yang paling utama di antara kami”.
Beliau kemudian berkata: “Sesiapapun di antara kalian, lelaki ataupun wanita dilarang
berbicara denganku melainkan dia telah menjadi seorang Muslim atau Muslimah!”.
Pada petang hari yang sama, tiada seorang pun dari kalangan Bani Abdul-Asyhal melainkan
mereka telah memeluk Islam. Ibnul Jauzy Rahimahumullah menyebutkan bahawa
perkampugan Bani Abdul-Asyal merupakan perkampungan Ansar pertama yang menerima
Islam (Shifahush-Shafwah, 1/455). Ummu Saad (Kabsyah bintu Rafi’) segera menyatakan
keislaman beliau, malah mendapatkan kebahagiaan yang besar di atas nikmat keimanan
tersebut. Rumah beliau menjadi tempat menetapnya duta Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wassalam , yang dari situlah angin keimanan berhembus ke seluruh pelosok Madinah.
Kebaikan mula memancar dari para wanita Ansar dan Ummu Saad merupakan salah seorang
wanita mukminah yang menyimpan kebaikan-kebaikan tersebut. Kelebihan ini turut diakui oleh
Ibn Saad dengan berkata: “ Orang yang pertama berbaiat kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wassalam ialah Ummu Saad, Kabsyah bintu Rafi’ bin Ubaid, Ummu Amir bintu Yazid bin
As-Sakan serta Hawa’ bintu Yazid bin As-Sakan.”

PENIUP SEMANGAT JIHAD ANAK-ANAKNYA

Berbagai kitab sejarah dan biografi telah menyajikan peribadi mulia dan
keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh Kabsyah bintu Rafi’, seperti keberanian, kebenaran,
kebaikan dan keprihatinan beliau kepada tetangga. Beliau juga mempamerkan contoh terbaik
yang mencerminkan kedudukan beliau yang sangat istimewa di sisi Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wassalam .
Beliau terkenal kerana keberanian dan kesabaran beliau di dalam membela baginda nabi dan
mendorong anak-anaknya untuk terjun ke medan jihad dan syahid di jalan Allah.
Di dalam Perang Badar, beliau meniupkan semangat kepada kedua anak beliau, Saad bin
Muadz dan Amru bin Muadz Radiallahu Anhuma, agar berangkat dan berjihad kerana Allah
dengan sebenar-benar jihad, sehinggalah kedua-duanya mendapat cubaan yang berakhir
dengan khabar kemenangan.
Di dalam Perang Uhud, Ummu Saad turut terlibat secara langsung bersama beberapa wanita
Muslimah lainnya. Berita kekalahan tentera kaum Muslimin dan gugur syahidnya anak beliau,
Amru bin Muadz sampai ke pengetahuan beliau. Namun, berita-berita tersebut ternyata kurang
penting bagi ibu ini berbanding keselamatan baginda nabi. Beliau lantas bersegera ke medan
peperangan dan melihat dengan mata kepala sendiri keadaan dan keselamatan Rasulullah Sall
allahu Alaihi Wassalam. Saat itu juga, beliau memanjatkan puji dan syukur kepada Allah seraya berkata: ”

Selagi aku melihat engkau dalam keadaan yang selamat, maka musibah ini (kematian Amru bin
Muadz) adalah terasa sangat ringan”


Di saat Perang Khandaq meletus, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam mengarahkan para
wanita muslimat dan kanak-kanak yang turut serta untuk berlindung di dalam benteng Bani
Haritsah yang telah siap dibina. Turut sama di kalangan mereka ialah Aisyah
Ummul Mukminin Radiallahu Anha dan Ummu Saad. Aisyah menuturkan bahawa Saad bin Muadz berlalu untuk menyertai pasukan perang dengan mengenakan baju besi yang pendek, sehingga seluruh tangannya terdedah. Beliau juga menyandang tombak yang dibanggakannya sambil melantunkan bait syair Hamal bin Sa’danah Al-Kalby: Teguhkan hatimu barang sejenak dalam gejolak medan laga; Jangan pedulikan kematian jika sudah tiba saatnya. Mendengar perkataan anaknya, Ummu Saad lantas menasihatkan anaknya agar bersegera supaya tidak ketinggalan walau sesaatpun tanpa bersama-sama Rasulullah. Beliaulah yang tidak henti-henti menasihati dan meniupkan semangat jihad di dalam dada anak-anaknya. Beliau berkata: ”
Wahai anakku, cepatlah berangkat kerana demi Allah, engkau sudah terlambat!”
Di dalam peperangan tersebut, Saad terkena anak panah lemparan Hibban Al-Urqah yang
memutuskan urat di dekat mata kakinya. Saat itu, Saad sempat berdoa kepada Allah dengan
doanya yang sangat masyur,

” Ya Allah, jika Engkau masih menyisakan peperangan melawan Quraisy, maka berikanlah
aku sisa umur untuk aku menyertainya. Tidak ada kaum yang lebih aku sukai untuk
memeranginya kerana Engkau, selain dari kaum yang telah menyakiti Nabi-Mu,
mendustakannya dan mengusirnya. Ya Allah, jika Engkau menjadikan peperangan antara kami
dengan mereka, maka jadikanlah mati syahid bagiku dan janganlah Engkau uji aku sehingga
aku merasakan senang kerana dapat mengalahkan bani Quraizhah”


Tenyata Allah mengabulkan doa Saad bin Muadz. Yahudi Bani Quraizhah melanggar
perjanjian yang telah dimeterai bersama Baginda Nabi. Keputusan tentang Bani Quraizhah
diserahkan kepada Saad bin Muadz. Beliaulah yang memutuskan agar kaum lelaki Bani
Quraizhah dibunuh, manakala kaum wanita dan kanak-kanaknya dijadikan tawanan. Sebaik
saja urusan Bani Quraizhah diselesaikan, luka di kaki Saad semakin parah dan akhirnya beliau
meninggal dunia.
Sekali lagi, Ummu Saad diuji dengan kehilangan anak beliau. Kekaguman wajar diberikan
kepada ibu ini lantaran kesabaran dan kekuatannya menerima ujian tersebut. Jasad Saad
diusung dan dikebumikan di Baqi’. Kesedihan Ummu Saad terpancar jelas di wajahnya. Lalu
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam menghibur beliau dengan bersabda,

” Adakah air matamu tidak dapat dibendung dan apakah kesedihanmu tidak dapat
dihilangkan? Sesungguhnya anakmu adalah orang pertama, Allah tersenyum kepadanya dan
Arasy bergoncang kerana kematiannya“ (Syiar Alamin-Nubala’, 1/293: Thabaqat Ibn Saad,
3/434; Majma’ Az-Zawa’id, 9/309)


Hatinya lantas gembira dengan perkhabaran Baginda. Beliau hanya mengharapkan pahala
kebaikan di sisi Allah dan RasulNya di atas kematian kedua-dua anaknya sebagai syuhada’,
apatahlagi setelah mengetahui ketinggian martabat seorang syahid. Beliau mendahulukan
kecintaan kepada Allah dan RasulNya di atas segala sesuatu yang di mata manusia lainnya
sangat berharga, termasuklah harta dan anak-anak. Di atas sifatnya inilah, maka beliau layak
mendapatkan khabar gembira daripada Allah dan RasulNya sebagai penghuni syurga.

BAGINYA JAMINAN SYURGA

Ummu Saad menerima khabar gembira sebagai penghuni syurga secara langsung dari
Rasulullah sewaktu berakhirnya Perang Uhud (Al-Maghazy, 2/315-316; As-sirah Al-Halabiyah,
2/545-546). Saat Baginda Nabi mengetahui gugurnya Amru bin Muadz selain sebelas orang
lagi syuhada’ medan uhud, Baginda lantas bersabda,
” Wahai Ummu Saad, terimalah khabar gembira dan sampaikanlah khabar gembira kepada
keluarga mereka, bahawa orang-orang yang terbunuh di antara mereka saling berteman di
dalam syurga, semuanya dan mereka diberi syafaat untuk keluarganya”
Baginda turut mendoakan Ummu Saad dengan doa yang istimewa,
” Ya Allah, singkirkan kesedihan hati mereka, ringankanlah musibah mereka dan berilah
pengganti yang baik bagi orang-orang yang mereka tinggalkan”.
Dari Anas bin Malik Radiallahu Anha, beliau berkata bahawa Rasulullah pernah bersabda,
”Barangsiapa yang sabar dan ikhlas mencari pahala kerana kematian tiga anaknya, maka dia
akan masuk syurga” Ada seorang wanita yang berdiri seraya berkata, ” Bagaimana dengan dua
orang anak?” Baginda kemudiannya menjawab, ”Begitu pula dua orang anak” [HR Al-Bukhari,
Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasaei dan Ahmad].
Inilah sekilas tentang sirah sahabiyyah mulia ini. Semoga keikhlasan dan kesabaran beliau
dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi pendamping utama Rasulullah yang tidak
pernah gerun dan sentiasa bersemangat di medan dakwah dan jihad menjadi teladan yang
layak untuk dicontohi oleh ibu kaum muslimin hari ini.
Wallahu'alam

5.6.09

SUKSESI DAMAI MENUJU KEKUASAAN ISLAM



Ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan; bagaimana suksesi kekuasaan dalam pemerintahan demokrasi terjadi secara legal dan bagaimana cara meraih tampuk kekuasaan dalam sistem demokrasi?; barangkali banyak orang bisa menjawabnya. Dan jawaban mereka selalu; suksesi kekuasaan terjadi melalui mekanisme pemilihan umum, dan jika seseorang ingin meraih kekuasaan, maka ia harus menerjunkan diri dalam pemilu legislatif dan eksekutif (pilpres). Artinya, secara legal formal, suksesi kekuasaan harus terjadi melalui saluran pemilu dan parlemen. Atas dasar itu, siapa saja yang ingin meraih kekuasaan (baik eksekutif dan legislatif), maka ia harus masuk dalam mekanisme pemilu dan parlemen.

Namun, ketika seseorang ditanya; bagaimana suksesi kekuasaan terjadi dalam Islam dan bagaimana mekanisme meraih tampuk kekuasaan menurut Islam; banyak orang yang tidak bisa menjawabnya dengan jawaban yang benar. Bahkan, mereka menyatakan bahwa kekuasaan Islam tidak mungkin bisa tegak, jika kaum Muslim tidak mengikuti mekanisme suksesi kekuasaan ala sistem demokrasi. Mereka bersikukuh dengan sebuah pendapat bahwa untuk menegakkan kekuasaan Islam, kaum Muslim harus berjuang melalui saluran-saluran suksesi yang sah dan demokratis, yakni terjun dalam pemilu dan parlemen; serta musyarakah dengan pemerintahan kufur. Sedangkan perjuangan di luar parlemen dan musyarakah, dianggap sebagai jalan ilegal, bahkan selalu diopinikan berdarah-darah, seram, dan menakutkan.

Lantas, bagaimana cara menegakkan kekuasaan Islam dalam sebuah masyarakat dan negara yang menerapkan demokrasi? Apakah perjuangan menegakkan kekuasaan Islam harus ditempuh melalui saluran demokrasi (pemilu dan parlemen)?


Filosofi Mengambil Alih Kepemimpinan Umat

Penerapan syari’at Islam secara sempurna dan menyeluruh hanya akan terwujud jika partai politik berhasil mendapatkan pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Ini bisa dimengerti karena, kekuasaan merupakan syarat mutlak untuk menerapkan syari’ah Islam. Selain itu, kekuasaan juga dibutuhkan untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam yang akan mengatur seluruh urusan rakyat dengan syari’at Islam. Tanpa kekuasaan, penerapan syari’at Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat adalah kemustahilan. Atas dasar itu, kekuasaan merupakan prasyarat menuju terbentuknya pemerintahan dan penerapan syari’at Islam.

Atas dasar itu, seluruh partai politik Islam harus memfokuskan dirinya untuk meraih kekuasaan dari tangan rakyat. Sebab, kekuasaan adalah milik rakyat. Rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Ketika rakyat telah menyerahkan kekuasaannya kepada sebuah partai politik, maka partai politik tersebut telah berhasil memiliki kekuasaan (wewenang) untuk mengatur urusan rakyat. Pada saat yang sama, partai politik tersebut akan didukung oleh rakyat dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya.

Sebuah partai politik akan mendapatkan dukungan dari rakyat ketika pemikiran-pemikiran, standarisasi-standarisasi, dan tata nilai partai politik telah dimengerti dan disetujui oleh rakyat. Ketika pemikiran, standarisasi, dan tata nilai yang diemban oleh partai politik sejalan dengan pemikiran, standarisasi, dan tata nilai rakyat maka, partai politik pasti akan mendapatkan dukungan dari rakyat. Pada saat partai politik mendapatkan dukungan rakyat, tentu saja ia akan mendapatkan limpahan kekuasaan dari rakyat. Dalam kondisi semacam ini, partai politik dianggap telah berhasil meraih kekuasaan dari rakyat.

Sebuah negara baru akan lahir jika masyarakat telah mengadopsi pemahaman, standarisasi, dan tata nilai baru. Sebab, tiga hal inilah yang akan melahirkan trust (kepercayaan). Sedangkan kepercayaan (trust) adalah dasar terbentuknya sebuah kekuasaan (negara). Jika kepercayaan kepada pemahaman, standarisasi dan tata nilai baru tumbuh di tengah-tengah masyarakat, maka rakyat pasti akan memberikan kekuasaan kepada pihak yang membawa pemikiran, standarisasi, dan tata nilai tersebut.

Atas dasar itu, jika kita hendak membangun pemerintahan Islam langkah pertama adalah dengan jalan merebut kepercayaan umat. Kepercayaan umat akan didapatkan ketika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam telah menyatu pada rakyat. Dengan demikian meraih kekuasaan dari tangan umat harus dimulai dengan cara menanamkan pemahaman, standarisasi, dan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat, hingga pemikiran dan perasaan mereka menyatu dengan partai.

Sayangnya, pemahaman mayoritas rakyat Islam tentang syari’at Islam sangatlah minim. Bahkan, mereka hampir-hampir tidak lagi mengenal Islam, kecuali sekedar dari simbol-simbol dan praktek-praktek ritualnya. Dalam kondisi seperti ini, perjuangan partai politik Islam untuk menyakinkan rakyat agar mereka mau menyerahkan kekuasaannya kepada partai politik Islam menjadi sangat berat. Sebab, rakyat belum menyatu dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Padahal tiga hal ini merupakan dasar bagi terbentuknya sebuah kepercayaan. Sedangkan kepercayaan umat merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan sebuah kekuasaan.

Atas dasar itu, tugas utama partai politik Islam adalah menyadarkan umat dengan syari’at Islam. Selain melakukan propaganda-propaganda tentang Islam, partai politik harus melibatkan diri dalam proses penyadaran umat terhadap pemahaman, standarisasi dan tata nilai Islam. Sebab, hanya dengan cara inilah umat akan percaya kepada partai politik Islam dan kekuasaan bisa diraih.

Diagram di bawah ini adalah gambaran bagaimana struktur kekuasaan (negara) terbentuk, dasar pembentuk kekuasaan, dan posisi partai politik Islam dalam mengambilalih kekuasaan.


Kekuasaan (negara) terbentuk dari trust (kepercayaan/social contract). Sedangkan trust terbentuk dari pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Perubahan kekuasaan ditentukan oleh perubahan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Jika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai kufur sudah berganti menjadi menjadi islamiy, maka kekuasaan (negara) akan berubah.

Atas dasar itu, perubahan kekuasaan di manapun harus dimulai dengan cara mengubah pemahaman, standarisasi, dan tata nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Bila semesta pembicaraan adalah perubahan masyarakat tidak Islam menjadi masyarakat Islam, maka menanamkan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam merupakan sebuah kemestian.

Untuk itu, konsens partai politik Islam harusnya diarahkan untuk membentuk pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Sebab, dengan cara inilah trust sekuleristik bisa dihancurkan. Ketika trust telah hancur, maka rakyat akan menyerahkan trust-nya kepada partai politik Islam; dan pada saat itu muncullah kekuasaan Islam. Akan tetapi, selama proses edukasi umat dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam tidak dijalankan, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan (trust) dari rakyat.

Inilah dasar-dasar peralihan sebuah kekuasaan atau negara. Fakta perubahan kekuasaan semacam ini merupakan hasil kajian terhadap fakta dan sebab-sebab perubahan sebuah kekuasaan (negara) di manapun adanya.


Manhaj Rasulullah Dalam Meraih Kekuasaan

Meraih kekuasaan dari tangan umat adalah thariqah untuk menerapkan syari’ah Islam. Akan tetapi, cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj (metode) yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.

Di bawah ini adalah prinsip-prinsip dakwah Rasulullah Saw untuk mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islamiy.

Perjuangan harus dilakukan secara kolektif (amal jama’i) bukan individual. Perjuangan semacam ini bisa dituangkan dengan cara membentuk harakah, partai, maupun jama’ah yang bersendikan ‘aqidah Islam.

Ini didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah Saw dan para shahabat. Beliau Saw dan para shahabat merupakan gambaran factual sebuah perjuangan kolektif.

Rasulullah Saw berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) shahabat yang memimpin para shahabat untuk meruntuhkan rejim kufur saat itu.

Di sisi lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul oleh perjuangan individual, akan tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan kolektif. Berdasarkan kaedah ushul fiqh, mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Menegakkan sistem Islam adalah kewajiban yang tidak mungkin dipikul oleh gerakan individual, akan tetapi harus diemban oleh sebuah kelompok. Walhasil, adanya kelompok merupakan keniscayaan bagi berhasilnya perjuangan menegakkan sistem Islam.

Kelompok tersebut melakukan pembinaan (halaqah) anggota-anggotanya dengan tsaqafah Islam, selanjutnya melakukan interaksi dengan masyarakat. Ini ditujukan agar anggota kelompok tersebut memahami visi dan misi perjuangan, dan agar mereka melebur dengan ‘aqidah dan tsaqafah Islam. Namun, kelompok tidak hanya melakukan pembinaan untuk anggota-anggotanya saja, akan tetapi ia harus membina umat agar umat memahami Islam dan mau mendukung perjuangan untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Dengan kata lain, partai Islam harus berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, yang dimulai dari (1) fase pembinaan, (2) fase berinteraksi dengan masyarakat, (3) fase mengambil alih kekuasaan melalui umat.

Rasulullah Saw membina para shahabat di rumah Arqam. Beliau juga melakukan halaqah di tempat-tempat yang telah ditentukan. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam pada diri shahabat. Tidak hanya itu, pembinaan yang dilakukan oleh beliau Saw juga ditujukan agar para shahabat mampu mendakwahkan Islam kepada masyarakatnya.

Beliau dan para shabahat tidak henti-hentinya menyerang kebusukan ‘aqidah-‘aqidah dan pranata jahiliyyah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Beliau dan para shahabat sering menyinggahi pasar-pasar, baitullah, dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat.

Partai politik Islam harus mempersiapkan pemikiran dan metode untuk menerapkan pemikiran tersebut kepada masyarakat sedetail dan serinci mungkin. Kelompok Islam tidak boleh hanya berbekal semangat belaka untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Kelompok Islam harus bisa menggambarkan secara detail dan rinci bagaimana sistem pemerintahan, peradilan, politik luar negeri dan dalam negeri, sistem ekonomi, sistem hubungan social Islamiy dan lain-lain. Bahkan ia harus sudah mempersiapkan konstitusi Islam yang menggambarkan sistem Islam secara utuh.

Partai atau kelompok tersebut hanya mendakwahkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari ‘aqidah dan hukum Islam. Partai tidak akan menerima pemikiran-pemikiran yang sudah disusupi oleh ideologi-ideologi, pranata, maupun tata nilai yang bertentangan dengan Islam. Partai politik Islam juga tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang tidak Islam; misalnya syarat bahwa partai harus mengakui paham-paham kufur, atau tidak boleh mengubah sistem yang ada dengan sistem Islam.

Al-Qur’an telah menyatakan dengan sangat jelas:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya serta meninggalkan seluruh laranganNya, selagi mereka mampu.”

Sedangkan Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi dalam kitabnya Madarik at-Tanziil wa Haqâiq at-Ta’wil, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta’at (al-istislaam wa al-tha’ah), yakni berserah diri kepadaNya dan ta’at kepada Allah atau Islam.

Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan memuliakan hari Sabtu sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas. Selanjutnya Imam ath-Thabari menyatakan bahwa ta’wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang Mu’min untuk menolak semua perkara yang tidak lahir dari hukum Islam. Ayat ini juga memerintahkan kaum Muslim agar melaksanakan semua syari’at Islam dan melarang kaum Muslim untuk melenyapkan hukum-hukum Islam meskipun sebagian hukum saja.

Inilah prinsip-prinsip dasar dalam memperjuangkan penerapan Islam di tengah-tengah kehidupan. Masalah ini harus dijadikan fokus perhatian oleh setiap gerakan Islam yang ingin berdakwah sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sungguh, apabila partai politik-partai politik Islam memperjuangkan Islam sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, tentu mereka akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Sebaliknya, jika mereka tidak berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, mereka akan menuai kegagalan.

Dari seluruh penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pemilu dan parlemen sekarang ini bukan jalan syar’i untuk memperjuangkan penerapan syari’at Islam. Akan tetapi, jalan syar’i untuk melakukan perubahan masyarakat adalah manhaj dakwah Rasulullah Saw. Wallahu al-Hadiy al-Muwaffiq ila Aqwam al-Thariq. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy –Lajnah Tsaqafiyyah HTI).

Lihat Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah. Bandingkan pula dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, hal. 13-14.

Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim, jld. I, hal. 247.

Imam An Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil,juz 1, hal. 105

Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsîr al-Qur’an, jld. II, hal. 337.

Ibid, hal. 337.