يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208)."

5.6.09

SUKSESI DAMAI MENUJU KEKUASAAN ISLAM



Ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan; bagaimana suksesi kekuasaan dalam pemerintahan demokrasi terjadi secara legal dan bagaimana cara meraih tampuk kekuasaan dalam sistem demokrasi?; barangkali banyak orang bisa menjawabnya. Dan jawaban mereka selalu; suksesi kekuasaan terjadi melalui mekanisme pemilihan umum, dan jika seseorang ingin meraih kekuasaan, maka ia harus menerjunkan diri dalam pemilu legislatif dan eksekutif (pilpres). Artinya, secara legal formal, suksesi kekuasaan harus terjadi melalui saluran pemilu dan parlemen. Atas dasar itu, siapa saja yang ingin meraih kekuasaan (baik eksekutif dan legislatif), maka ia harus masuk dalam mekanisme pemilu dan parlemen.

Namun, ketika seseorang ditanya; bagaimana suksesi kekuasaan terjadi dalam Islam dan bagaimana mekanisme meraih tampuk kekuasaan menurut Islam; banyak orang yang tidak bisa menjawabnya dengan jawaban yang benar. Bahkan, mereka menyatakan bahwa kekuasaan Islam tidak mungkin bisa tegak, jika kaum Muslim tidak mengikuti mekanisme suksesi kekuasaan ala sistem demokrasi. Mereka bersikukuh dengan sebuah pendapat bahwa untuk menegakkan kekuasaan Islam, kaum Muslim harus berjuang melalui saluran-saluran suksesi yang sah dan demokratis, yakni terjun dalam pemilu dan parlemen; serta musyarakah dengan pemerintahan kufur. Sedangkan perjuangan di luar parlemen dan musyarakah, dianggap sebagai jalan ilegal, bahkan selalu diopinikan berdarah-darah, seram, dan menakutkan.

Lantas, bagaimana cara menegakkan kekuasaan Islam dalam sebuah masyarakat dan negara yang menerapkan demokrasi? Apakah perjuangan menegakkan kekuasaan Islam harus ditempuh melalui saluran demokrasi (pemilu dan parlemen)?


Filosofi Mengambil Alih Kepemimpinan Umat

Penerapan syari’at Islam secara sempurna dan menyeluruh hanya akan terwujud jika partai politik berhasil mendapatkan pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Ini bisa dimengerti karena, kekuasaan merupakan syarat mutlak untuk menerapkan syari’ah Islam. Selain itu, kekuasaan juga dibutuhkan untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam yang akan mengatur seluruh urusan rakyat dengan syari’at Islam. Tanpa kekuasaan, penerapan syari’at Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat adalah kemustahilan. Atas dasar itu, kekuasaan merupakan prasyarat menuju terbentuknya pemerintahan dan penerapan syari’at Islam.

Atas dasar itu, seluruh partai politik Islam harus memfokuskan dirinya untuk meraih kekuasaan dari tangan rakyat. Sebab, kekuasaan adalah milik rakyat. Rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Ketika rakyat telah menyerahkan kekuasaannya kepada sebuah partai politik, maka partai politik tersebut telah berhasil memiliki kekuasaan (wewenang) untuk mengatur urusan rakyat. Pada saat yang sama, partai politik tersebut akan didukung oleh rakyat dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya.

Sebuah partai politik akan mendapatkan dukungan dari rakyat ketika pemikiran-pemikiran, standarisasi-standarisasi, dan tata nilai partai politik telah dimengerti dan disetujui oleh rakyat. Ketika pemikiran, standarisasi, dan tata nilai yang diemban oleh partai politik sejalan dengan pemikiran, standarisasi, dan tata nilai rakyat maka, partai politik pasti akan mendapatkan dukungan dari rakyat. Pada saat partai politik mendapatkan dukungan rakyat, tentu saja ia akan mendapatkan limpahan kekuasaan dari rakyat. Dalam kondisi semacam ini, partai politik dianggap telah berhasil meraih kekuasaan dari rakyat.

Sebuah negara baru akan lahir jika masyarakat telah mengadopsi pemahaman, standarisasi, dan tata nilai baru. Sebab, tiga hal inilah yang akan melahirkan trust (kepercayaan). Sedangkan kepercayaan (trust) adalah dasar terbentuknya sebuah kekuasaan (negara). Jika kepercayaan kepada pemahaman, standarisasi dan tata nilai baru tumbuh di tengah-tengah masyarakat, maka rakyat pasti akan memberikan kekuasaan kepada pihak yang membawa pemikiran, standarisasi, dan tata nilai tersebut.

Atas dasar itu, jika kita hendak membangun pemerintahan Islam langkah pertama adalah dengan jalan merebut kepercayaan umat. Kepercayaan umat akan didapatkan ketika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam telah menyatu pada rakyat. Dengan demikian meraih kekuasaan dari tangan umat harus dimulai dengan cara menanamkan pemahaman, standarisasi, dan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat, hingga pemikiran dan perasaan mereka menyatu dengan partai.

Sayangnya, pemahaman mayoritas rakyat Islam tentang syari’at Islam sangatlah minim. Bahkan, mereka hampir-hampir tidak lagi mengenal Islam, kecuali sekedar dari simbol-simbol dan praktek-praktek ritualnya. Dalam kondisi seperti ini, perjuangan partai politik Islam untuk menyakinkan rakyat agar mereka mau menyerahkan kekuasaannya kepada partai politik Islam menjadi sangat berat. Sebab, rakyat belum menyatu dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Padahal tiga hal ini merupakan dasar bagi terbentuknya sebuah kepercayaan. Sedangkan kepercayaan umat merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan sebuah kekuasaan.

Atas dasar itu, tugas utama partai politik Islam adalah menyadarkan umat dengan syari’at Islam. Selain melakukan propaganda-propaganda tentang Islam, partai politik harus melibatkan diri dalam proses penyadaran umat terhadap pemahaman, standarisasi dan tata nilai Islam. Sebab, hanya dengan cara inilah umat akan percaya kepada partai politik Islam dan kekuasaan bisa diraih.

Diagram di bawah ini adalah gambaran bagaimana struktur kekuasaan (negara) terbentuk, dasar pembentuk kekuasaan, dan posisi partai politik Islam dalam mengambilalih kekuasaan.


Kekuasaan (negara) terbentuk dari trust (kepercayaan/social contract). Sedangkan trust terbentuk dari pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Perubahan kekuasaan ditentukan oleh perubahan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Jika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai kufur sudah berganti menjadi menjadi islamiy, maka kekuasaan (negara) akan berubah.

Atas dasar itu, perubahan kekuasaan di manapun harus dimulai dengan cara mengubah pemahaman, standarisasi, dan tata nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Bila semesta pembicaraan adalah perubahan masyarakat tidak Islam menjadi masyarakat Islam, maka menanamkan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam merupakan sebuah kemestian.

Untuk itu, konsens partai politik Islam harusnya diarahkan untuk membentuk pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Sebab, dengan cara inilah trust sekuleristik bisa dihancurkan. Ketika trust telah hancur, maka rakyat akan menyerahkan trust-nya kepada partai politik Islam; dan pada saat itu muncullah kekuasaan Islam. Akan tetapi, selama proses edukasi umat dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam tidak dijalankan, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan (trust) dari rakyat.

Inilah dasar-dasar peralihan sebuah kekuasaan atau negara. Fakta perubahan kekuasaan semacam ini merupakan hasil kajian terhadap fakta dan sebab-sebab perubahan sebuah kekuasaan (negara) di manapun adanya.


Manhaj Rasulullah Dalam Meraih Kekuasaan

Meraih kekuasaan dari tangan umat adalah thariqah untuk menerapkan syari’ah Islam. Akan tetapi, cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj (metode) yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.

Di bawah ini adalah prinsip-prinsip dakwah Rasulullah Saw untuk mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islamiy.

Perjuangan harus dilakukan secara kolektif (amal jama’i) bukan individual. Perjuangan semacam ini bisa dituangkan dengan cara membentuk harakah, partai, maupun jama’ah yang bersendikan ‘aqidah Islam.

Ini didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah Saw dan para shahabat. Beliau Saw dan para shahabat merupakan gambaran factual sebuah perjuangan kolektif.

Rasulullah Saw berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) shahabat yang memimpin para shahabat untuk meruntuhkan rejim kufur saat itu.

Di sisi lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul oleh perjuangan individual, akan tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan kolektif. Berdasarkan kaedah ushul fiqh, mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Menegakkan sistem Islam adalah kewajiban yang tidak mungkin dipikul oleh gerakan individual, akan tetapi harus diemban oleh sebuah kelompok. Walhasil, adanya kelompok merupakan keniscayaan bagi berhasilnya perjuangan menegakkan sistem Islam.

Kelompok tersebut melakukan pembinaan (halaqah) anggota-anggotanya dengan tsaqafah Islam, selanjutnya melakukan interaksi dengan masyarakat. Ini ditujukan agar anggota kelompok tersebut memahami visi dan misi perjuangan, dan agar mereka melebur dengan ‘aqidah dan tsaqafah Islam. Namun, kelompok tidak hanya melakukan pembinaan untuk anggota-anggotanya saja, akan tetapi ia harus membina umat agar umat memahami Islam dan mau mendukung perjuangan untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Dengan kata lain, partai Islam harus berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, yang dimulai dari (1) fase pembinaan, (2) fase berinteraksi dengan masyarakat, (3) fase mengambil alih kekuasaan melalui umat.

Rasulullah Saw membina para shahabat di rumah Arqam. Beliau juga melakukan halaqah di tempat-tempat yang telah ditentukan. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam pada diri shahabat. Tidak hanya itu, pembinaan yang dilakukan oleh beliau Saw juga ditujukan agar para shahabat mampu mendakwahkan Islam kepada masyarakatnya.

Beliau dan para shabahat tidak henti-hentinya menyerang kebusukan ‘aqidah-‘aqidah dan pranata jahiliyyah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Beliau dan para shahabat sering menyinggahi pasar-pasar, baitullah, dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat.

Partai politik Islam harus mempersiapkan pemikiran dan metode untuk menerapkan pemikiran tersebut kepada masyarakat sedetail dan serinci mungkin. Kelompok Islam tidak boleh hanya berbekal semangat belaka untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Kelompok Islam harus bisa menggambarkan secara detail dan rinci bagaimana sistem pemerintahan, peradilan, politik luar negeri dan dalam negeri, sistem ekonomi, sistem hubungan social Islamiy dan lain-lain. Bahkan ia harus sudah mempersiapkan konstitusi Islam yang menggambarkan sistem Islam secara utuh.

Partai atau kelompok tersebut hanya mendakwahkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari ‘aqidah dan hukum Islam. Partai tidak akan menerima pemikiran-pemikiran yang sudah disusupi oleh ideologi-ideologi, pranata, maupun tata nilai yang bertentangan dengan Islam. Partai politik Islam juga tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang tidak Islam; misalnya syarat bahwa partai harus mengakui paham-paham kufur, atau tidak boleh mengubah sistem yang ada dengan sistem Islam.

Al-Qur’an telah menyatakan dengan sangat jelas:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya serta meninggalkan seluruh laranganNya, selagi mereka mampu.”

Sedangkan Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi dalam kitabnya Madarik at-Tanziil wa Haqâiq at-Ta’wil, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta’at (al-istislaam wa al-tha’ah), yakni berserah diri kepadaNya dan ta’at kepada Allah atau Islam.

Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan memuliakan hari Sabtu sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas. Selanjutnya Imam ath-Thabari menyatakan bahwa ta’wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang Mu’min untuk menolak semua perkara yang tidak lahir dari hukum Islam. Ayat ini juga memerintahkan kaum Muslim agar melaksanakan semua syari’at Islam dan melarang kaum Muslim untuk melenyapkan hukum-hukum Islam meskipun sebagian hukum saja.

Inilah prinsip-prinsip dasar dalam memperjuangkan penerapan Islam di tengah-tengah kehidupan. Masalah ini harus dijadikan fokus perhatian oleh setiap gerakan Islam yang ingin berdakwah sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sungguh, apabila partai politik-partai politik Islam memperjuangkan Islam sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, tentu mereka akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Sebaliknya, jika mereka tidak berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, mereka akan menuai kegagalan.

Dari seluruh penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pemilu dan parlemen sekarang ini bukan jalan syar’i untuk memperjuangkan penerapan syari’at Islam. Akan tetapi, jalan syar’i untuk melakukan perubahan masyarakat adalah manhaj dakwah Rasulullah Saw. Wallahu al-Hadiy al-Muwaffiq ila Aqwam al-Thariq. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy –Lajnah Tsaqafiyyah HTI).

Lihat Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah. Bandingkan pula dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, hal. 13-14.

Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim, jld. I, hal. 247.

Imam An Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil,juz 1, hal. 105

Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsîr al-Qur’an, jld. II, hal. 337.

Ibid, hal. 337.

1 komentar:

  1. Islam bukanlah agama demokrasi yang kekuasaanya berdasarkan kehendak orang banyak..
    tidakkah anda perhatikan orng2 yng mengaku dirinya memperjuangkan syariat islam,,, tetapi masih menjilat dan bernaung dibawah hukum dan sistem thagut...

    "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut*, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." An nisa : 60

    (Tolong telaah juga dan fahami baik baik QS 5 :48-50)


    saya rasa, berpartai bkanlah cara yang tepat mempurjuangkan tegaknya syariat islam...
    lihatlat bagaimana dulu rasulullah berjuang...
    sudahlah kita menguswahnya?

    Tahukah anda seperti apa pola prjuangan Rasulullah duhulu ?????

    dalam Aqimuddin dan tegaknya syariat islam sehingga dapat menjalankan islam secara kafaah memang tidak bisa secara perindividu...
    tetapi berjamaah

    "wa'tashimu bihablillaahi jamii'a wala tafarraquu....berpegang teguhlah pada tali Allah secara bersama sama dan janganlah bercerai berai"..... QS 3: 103

    "Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang tersusun rapi (teratur) seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Surah Shaf : 4"


    pelajari baik baik bagaimana rasulullah dulu berjuang,, jika anda anda sekalian mengaku hendak memperjuangkan tegakknya din Allah serta syariat_Nya di bumi ini

    BalasHapus

isilah komentar anda ...